google.com, pub-5131649008171023, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Connect with us

Suara Difabel Mandiri (SDM)

Efisiensi Anggaran Tumpul ke Atas: Disabilitas Bukan Prioritas?

Ilustrasi disabilitas dan pejabat publik

Artikel

Efisiensi Anggaran Tumpul ke Atas: Disabilitas Bukan Prioritas?

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 yang mengamanahkan efisiensi anggaran pada lembaga pemerintahan sejatinya menjanjikan harapan mencegah pemborosan dalam birokrasi. Namun pada wacana implementasinya menuai kontroversi. Pasalnya pemerintah terlalu berfokus melakukan sentralisasi distribusi anggaran pada dua program besar.

Menurut informasi yang beredar seluruh dana hasil efisiensi sebesar kurang lebih 750 Triliun akan dikonversi menjadi modal investasi melalui Danantara, serta mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah sejak masa kampanye. Akibatnya muncul sinyal ketidakadilan dalam distribusi anggaran pada sektor vital.

Padahal wacana sentralisasi dana tersebut belum tentu menjamin implementasi yang efisien. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah kurang mempertimbangkan kebutuhan nasional yang beragam. Misalnya pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial bagi kelompok rentan.

Disabilitas Belum Menjadi Prioritas

Salah satu dampak nyata dari kebijakan ini adalah mekanisme pemotongan anggaran yang terkesan kurang terukur memberikan dampak signifikan yang justru mengorbankan kepentingan esensial termasuk pemenuhan Hak-hak penyandang disabilitas yang seharusnya menjadi kewajiban utama negara.

Indikasi bahwa penyandang disabilitas belum menjadi prioritas terlihat dari pemangkasan anggaran KND dari hampir 7 miliar menjadi hanya 3,03 miliar rupiah. Nominal tersebut merupakan hasil klarifikasi Menteri Sosial Syaifullah Yusuf atas rumor yang mengabarkan bahwa KND hanya  mendapat alokasi anggaran sebesar Rp.500.000.000 sebagai efek dari kebijakan efisiensi anggaran besar-besaran pemerintah.

Keputusan ini mengkhawatirkan karena KND memiliki peran penting dalam advokasi hak penyandang disabilitas. Mengingat beratnya tugas lembaga tersebut, maka sudah semestinya segala bentuk aktivitasnya ditunjang dengan dukungan finansial yang memadai.

Minimnya alokasi anggaran dapat menimbulkan gangguan terhadap efektivitas mandat KND, terutama terkait advokasi dan sosialisasi paradigma inklusif di sektor publik secara optimal, mengingat bahwa disabilitas merupakan kelompok rentan yang membutuhkan perhatian negara.

Meskipun pihak KND telah menerima usulan tersebut dan berencana meminimalisasi kegiatan non-prioritas, namun nyatanya bila ditinjau secara matematis anggaran yang telah diperbaharui tetap tidak mencukupi untuk memperjuangkan seluruh kebutuhan penyandang disabilitas di Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan  tahun 2023, menunjukkan bahwa sekitar 22, 97 juta orang atau sekitar 8,5% dari total populasi Indonesia adalah penyandang disabilitas. Dengan demikian setiap satu difabel hanya mendapatkan kurang lebih Rp. 132 per tahun.

Jika anggaran dibagi rata, tentu nominalnya tidak akan sebanding dengan banyaknya kebutuhan riil yang bersifat khusus untuk setiap individu yang perlu diperjuangkan. Pasalnya jika alokasi anggaran lebih kecil dari skala cakupan permasalahan, maka yang terjadi justru pembatasan.

Terbatasnya Wewenang KND dan Minimnya Sorotan Publik

Problematika yang terjadi tidak hanya berhenti disitu, KND juga menghadapi kendala dalam aspek kewenangan. Meskipun memiliki dasar hukum yang kuat, namun wewenang KND masih terbatas pada lingkup koordinasi dan rekomendasi akan tetapi tidak bersifat mengikat terhadap proses perumusan kebijakan. Dalam arti KND belum memiliki bargaining position yang kuat untuk merangsang kesadaran pemangku kepentingan akan arti penting inklusivitas.

Keterbatasan ini semakin diperparah dengan minimnya sorotan media terhadap kinerja KND. Peran organisasi yang terbatas menyebabkan paparan media terhadap kinerja lembaga tidak terlalu kuat. Hal ini berimbas pada kesadaran masyarakat terhadap isu disabilitas masih kurang berkembang, sehingga tekanan untuk memprioritaskan masalah ini masih lemah.

Langkah Mundur bagi Inklusivitas

Oleh karena itu pemangkasan anggaran secara ekstrem bukanlah keputusan tepat, karena otomatis akan semakin mempersempit ruang gerak KND. Ironisnya hal ini terjadi di tengah realitas bahwa masih banyak difabel yang kesulitan mengakses hak-hak dasar. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya kehadiran KND.

Ironisnya, pemerintah justru menambah anggaran untuk pos yang kurang krusial, seperti pengangkatan staf khusus, dan utusan khusus presiden. Dilansir dari laporan Detik.com, pada tahun 2024 total anggaran untuk 14 staf khusus presiden mencapai Rp12,4 miliar per tahun. Sementara itu, utusan khusus presiden menerima gaji dan tunjangan Rp18,6 juta/bulan. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa efisiensi anggaran hanya tajam ke bawah.

Kebijakan efisiensi anggaran KND tak hanya sekedar kekeliruan teknis semata, akan tetapi juga turut menodai aspek moral. Tindakan tersebut bertentangan dengan semangat inklusivitas yang telah dikukuhkan dalam konvensi Hak-hak penyandang disabilitas yang telah diratifikasi melalui UU No 19 tahun 2011. Secara tidak langsung merupakan suatu langkah mundur dalam upaya mewujudkan masyarakat inklusif.

Di samping itu, dalam skala nasional, UU No 8 /2016 juga telah mengatur mekanisme implementasi ideal, yang mana pada pasal 131-134 menguraikan pentingnya peran KND dialamnya. Hal ini mencerminkan suatu ketidakseimbangan antara kebijakan dengan implementasinya.

Oleh karena itu, untuk menjaga semangat inklusivitas pemerintah perlu mengkaji ulang wacana pembatasan anggaran. Mengingat penyebaran paradigma inklusif membutuhkan modal yang besar. Hal tersebut juga harus diiringi dengan penguatan pengaruh KND dalam perumusan kebijakan publik

Memperkuat KND Sebagai Pengawas Independen

Menurut saya perlu adanya wewenang yang sedikit memaksa untuk merangsang kepekaan, inisiatif dan kepedulian pemangku kepentingan terhadap isu disabilitas sebagai minoritas yang rentan. Selain itu mengingat urgensi permasalahan yang spesifik dan tantangan yang dihadapi, sudah saatnya KND dipertimbangkan sebagai pengawas resmi independen yang setara komnas HAM.

Dengan status yang lebih kuat serta anggaran yang lebih proporsional melalui mekanisme aliran dana alokasi khusus (DAK). Saat ini KND masih di bawah kementerian sosial yang membatasi fleksibilitasnya. Apabila hal tersebut tak diperhatikan lebih serius, maka komitmen negara atas keadilan sosial bagi seluruh rakyat patut dipertanyakan.

Efisiensi anggaran sebenarnya bukan wacana yang buruk. Namun perlu diingat bahwa dalam implementasinya efisiensi bukan sekedar pemotongan biaya belaka, tetapi juga tentang sejauh mana kebijakan tersebut dapat menjangkau sasaran. Jangan sampai niat efisiensi malah menghambat upaya peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas.

Penulis: Abimanyu Kurnia Ramadha

Editor: Rizky Ramadhani

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Artikel

To Top