google.com, pub-5131649008171023, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Connect with us

Suara Difabel Mandiri (SDM)

Hikmah Menjadi Cacat: Menemukan Kebijaksanaan dalam Keterbatasan

4 orang difabel dengan kondisi yang berbeda-beda

Artikel

Hikmah Menjadi Cacat: Menemukan Kebijaksanaan dalam Keterbatasan

manusia tidak dapat memilih bagaimana ia dilahirkan, bahkan jika takdir menentukan adanya suatu keterbatasan  dimana pasti ada tujuan tertentu dibalik segala ujian- Nya.  Dalam  Surah Al-mulk ayat 2 Allah secara impisit menjelaskan alasan mengapa difabel bisa hadir ke dunia. Allah berfirman:

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al Mulk: 2)”

Bila dicermati dengan saksama, alasan alasan allah menciptakan suatu keterbatasan bukan hanya untuk menguji keimanan orang tersebut, namun juga untuk menguji kepekaan sosial orang lain. Hal ini seharusnya membuat kita berbahagia karena keterbatasan yang kita milliki juga dapat menjadi ladang pahala bagi lingkungan sekitar.

Selain itu menurut saya keterbatasan  laksana rambu yang memandu kita menjauh dari jalan yang salah, dalam arti  secara tidak langsung keterbatasan ini membuat  lingkar pertemanan kita terseleksi dengan sendirinya. Hal ini secara otomatis sedikit melindungi kita dari pengaruh buruk. Akan tetapi, sudah menjadi hukum alam bahwa setiap perbedaan akan mendapat perhatian, bahkan dalam konteks yang terlihat negatif.

Padahal, jika kita mengacu pada perspektif Islam, cara terbaik untuk menyikapi perbedaan kondisi pada setiap individu adalah dengan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang lemah dan membutuhkan bantuan, sesuai dengan amanat sabda Rasulullah S.A.W yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Meskipun begitu, saya percaya bahwa setiap manusia akan mengalami keterbatasan pada waktunya. Alhamdulillah, Tuhan memberi saya kesempatan untuk lebih terbiasa dengan keterbatasan yang saya miliki. Namun, sayangnya masih banyak manusia yang tidak menyadari bahwa menjadi difabel adalah sebuah keniscayaan, seiring dengan semakin tingginya batang usia dan menurunnya kemampuan fisiologis serta imunitas tubuh terhadap penyakit. Sehingga masih banyak orang yang menyikapi perbedaan kondisi dengan keangkuhan, merasa yakin bahwa mereka akan sehat selamanya.

Hal tersebut melatarbelakangi maraknya peristiwa perundungan (bullying) dan diskriminasi yang menunjukkan kerendahan empati terhadap penyandang disabilitas. Di sisi lain menurut saya fenomena Bullying  justru timbul karena ternyata masih banyak orang  yang Merasa Insecure pada dirinya sendiri. Oleh karena membutuhkan validasi, mereka lantas menunjukkan superioritas dengan menindas orang lain yang dirasa lebih lemah agar mereka nampak jauh lebih baik.

Padahal, kita sering menjumpai manusia yang dahulu tegar namun kini harus terpaksa menikmati hari dari atas kursi roda, atau bahkan hanya terbaring di atas tempat tidurnya sepanjang hari. Tidak sedikit pula manusia yang kehilangan kemampuan inderawinya seiring dengan tubuh yang semakin menua. Apakah hal tersebut tidak termasuk dalam kategori keterbatasan? Satu hal yang perlu disyukuri dari kondisi yang kita alami adalah kebaikan Tuhan yang memberikan waktu lebih banyak bagi kita untuk mendewasakan diri dan memahami kondisi yang berbeda.

Hal tersebut belum tentu dimiliki oleh orang lain jika mereka diberikan ujian yang serupa. Oleh karena itu, saya merasa bersyukur karena sesungguhnya setiap manusia diciptakan dalam wujud yang sebaik-baiknya (QS: At Tin: 4).

Hikmah lain dari perbedaan yang kita miliki adalah kedudukkan yang istimewa di hadapan Tuhan, sebab kita tidak perlu mempertanggungjawabkan nikmat yang luput kita rasakan di hari akhir nanti. Misalnya, seorang tuna netra tak akan dimintai pertanggungjawaban atas matanya. Selain itu, individu dengan keterbatasan intelektual memiliki keistimewaan untuk langsung masuk surga tanpa timbangan.

Oleh karena itu, sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, patut untuk tetap percaya diri dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki sebagai langkah awal untuk meningkatkan derajat, mengingat sesungguhnya manusia terbaik adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain (HR: Ahmad).

Hal itu juga turut diamini oleh penulis mahsyur, Viktor Frankl, dalam bukunya yang berjudul “A Man Search for Meaning”. Ia menjelaskan bahwa kunci kebahagiaan tidak diukur dari kesempurnaan fisik semata, tetapi dari sejauh mana kita dapat menemukan makna hidup. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga optimisme dalam menghadapi kehidupan dengan bersikap bijaksana menghadapi keadaan, dan senantiasa berfokus pada hakikat manusia yang bermanfaat bagi nusa, bangsa, negara, dan agama. Karena sesungguhnya kelak segala keterbatasan akan tampak mengagumkan apabila kita mampu mengalahkan keraguan.

Bukan tidak mungkin pada akhirnya perjalanan yang kita lalui justru akan menjadi inspirasi khalayak ramai terkait bagaimana cara bangkit dari keterpurukan  dan menggali potensi diri seperti yang dilakukan oleh beberapa tokoh difabel dunia seperti Nick Vujicic dan Stephen yang sukses dibidangnya masing masing. Kiprah mereka menjadi bukti bahwa difabel mampu berkontribusi pada kemajuan dunia sekaligus menunjukkan  bentuk eksistensi difabel dengan citra yang lebih positif.  Pada akhirnya kita harus percaya bahwa dalam setiap ujian  akan selalu ada hikmah yang tersembunyi yang mungkin tidak kita sadari.

Penulis : Abimanyu Kurnia Ramadha

Editor : Rizky Ramadhani

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Artikel

To Top