google.com, pub-5131649008171023, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Connect with us

Suara Difabel Mandiri (SDM)

Perspektif Interseksi Sosial Sebagai Solusi Meningkatkan Kesetaraan Bagi Difabel di Era Digital

Ilustrasi Para Difabel

Artikel

Perspektif Interseksi Sosial Sebagai Solusi Meningkatkan Kesetaraan Bagi Difabel di Era Digital

Pembangunan suatu negara tidaklah lengkap jika tidak memperhatikan kesejahteraan seluruh warganya, termasuk penyandang disabilitas. Namun, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas masih banyak terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Masalah ini seharusnya menjadi perhatian utama, mengingat isu disabilitas adalah bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) global, seperti menjamin pendidikan berkualitas, mengurangi kesenjangan, dan memperkuat kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.

Oleh karena itu perlu adanya pendekatan baru yang lebih holistik untuk menghapus ketertinggalan bagi penyandang disabilitas. Prinsip interseksi sosial dapat menjadi solusi rasional. Interseksi sosial mengakui bahwa setiap individu memiliki identitas majemuk. Prinsip ini pertama kali diperkenalkan oleh Kimberle  Crenshaw pada tahun 1989, dan mendorong pemahaman akan keterkaitan antara berbagai kategori sosial serta pengaruhnya terhadap kehidupan individu.

Urgensi Perspektif Interseksi Sosial

Perspektif interseksionalitas penting dalam memahami permasalahan terkait disabilitas, sebab penyandang disabilitas sering mengalami kerentanan ganda yang menghambat peranan mereka dalam masyarakat. Setiap irisan kelompok sosial ini memerlukan penanganan berbeda untuk menghapus segala bentuk diskriminasi. Dengan memahami isu disabilitas dalam konteks yang lebih luas, pemangku kebijakan dapat merumuskan kebijakan yang lebih tepat, inklusif, dan berkelanjutan.

Sayangnya, pemerintah sering menganggap penyandang disabilitas sebagai entitas yang homogen, sehingga metode penanganannya disamaratakan. Padahal setiap tingkat kecacatan memiliki permasalahan dan cara penanganan yang berbeda. Metode penyelesaian masalah terkait disabilitas juga harus memperhatikan latar belakang sosial setiap individu. Masih banyak yang memandang difabel sebagai objek filantropi semata, sehingga tanggung jawab penanganan masalah ini hanya dibebankan pada Kementerian Sosial.

Ironi   Disabilitas di Era Digital

Indonesia memiliki bentang alam yang luas, sehingga tidak semua penyandang disabilitas dapat memanfaatkan layanan publik secara optimal, khususnya di pelosok desa. Kerentanan ini semakin berlapis bagi perempuan difabel di daerah terpencil.

Dalam sektor ketenagakerjaan, budaya patriarki yang kuat di Indonesia mengakibatkan partisipasi perempuan difabel yang rendah pada sektor formal. Data survei nasional angkatan kerja tahun 2020 menunjukkan 80,85% perempuan penyandang disabilitas bekerja di sektor informal. Sementara partisipasi difabel di sektor formal baru mencapai 19% dari target 60% pada tahun 2045. Kondisi ini diperparah oleh diskriminasi upah, di mana rata-rata upah perempuan penyandang disabilitas perempuan lebih rendah 23,38% dibanding  penyandang disabilitas laki-laki. Padahal, hak untuk mendapat pekerjaan dan kehidupan yang layak adalah hak konstitusional setiap warga negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. UU No. 8/2016 tentang penyandang disabilitas juga mengatur kuota minimal pekerja difabel di perusahaan.

Selain itu, masih banyak perusahaan memandang pemberdayaan disabilitas sebagai “biaya” ketimbang investasi, sehingga potensi pegawai difabel tidak terserap sempurna. Ekonomi digital bisa menjadi solusi alternatif mengatasi ketimpangan kesejahteraan, karena menawarkan peluang dan fleksibilitas tanpa memerlukan mobilitas fisik berlebih. Namun, kendala akses pendidikan dan infrastruktur yang tidak merata mempengaruhi kecakapan penyandang disabilitas terhadap teknologi Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya ketimpangan literasi yang signifikan antara desa dan kota.

Meskipun Akses internet di Indonesia saat ini telah mencapai 79,5%, tetapi hanya 34,89% difabel yang memiliki gawai dan hanya 8,5% yang mampu memanfaatkan internet. Pada 2021, Bank Dunia menemukan hampir 30 persen anak difabel di Indonesia tidak memiliki akses pendidikan.  Realita tersebut menunjukkan bahwa pelayanan pendidikan sebagai faktor krusial berkembangnya ekonomi digital belum terlaksana secara optimal.

Solusi Bagi Pemerintah

Maka dari itu, solusi bagi pemerintah  untuk menangani masalah ini meliputi pemerataan pembangunan unit layanan disabilitas, pendataan komprehensif melalui aplikasi, pemerataan sistem pendidikan inklusif, subsidi tambahan bagi mahasiswa difabel, kebijakan pendanaan khusus akses internet, stimulus bagi daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) terkait disabilitas, optimalisasi partisipasi difabel dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan  (Musrembang),  perumusan Rencana Aksi Daerah (RAD), bantuan sosial berbasis individu, dan ketegasan pemerintah dalam kebijakan yang memuat sanksi bagi pelanggar demi paradigma inklusif.

Dengan memperhatikan masalah interseksionalitas dan kerentanan ganda yang dialami penyandang disabilitas, pemerintah dapat menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi mereka. Kita semua dapat berkontribusi dalam kesuksesan penyamaan hak dengan meningkatkan kesadaran akan keadaan disabilitas serta memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara, termasuk penyandang disabilitas.

Penulis : Abimanyu Kurnia Ramadha

Editor : Rizky Ramadhani

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Artikel

To Top